Kadar abu dalam suatu bahan pangan sangat erat kaitanya dengan kandungan mineral didalamnya. Di dalam tubuh manusia, mineral berfungsi sebagai zat pembangun (pembentukan gigi, tulang, otot, dll) dan mengatur metabolisme tubuh. Kebutuhan mineral dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang kaya dengan mineral, seperti susu, daging, ikan, sayur dan lainnya.
Analisis kadar abu dan mineral penting dilakukan, karena dapat mengetahui kualitas gizi serta indikator mutu dari suatu pangan. Dari analisis kadar abu dan mineral dapat diketahui tingkat kemurnian produk, adanya bahan tambahan lain dalam produk yang mempengaruhi kandungan gizi, tingkat kebersihan pengelolaan suatu bahan, sebagai evaluasi nilai gizi, dan dapat mengetahui adanya kontaminasi mineral. (Andarwulan, et.al., 2011).
A. Pengertian Abu dan Mineral
Abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik suatu bahan pangan. Pada umumnya, bahan pangan terdiri dari 96% bahan organik dan air, sedangkan sisanya merupakan abu. Kadar abu memiliki hubungan dengan mineral suatu bahan, karena kadar abu dapat menentukan total mineral yang terkandung dalam suatu bahan pangan. Secara umum abu terdiri dari garam material anorganik dan terkadang juga mengandung mineral tertentu seperti klorofil dan hemoglobin. Contoh abu :
· Oksida : Al2O3, CaO, Fe2O3, MgO, MnO, SiO2, dll.
· Karbonat : Na2CO3 (abu soda), K2CO3
· Bikarbonat : NaHCO3
Mineral adalah zat gizi yang diperlukan manusia untuk mendukung proses dan berkembang oleh tubuh. Salah satu mineral yang diperlukan adalah Na, Mg, P, S, dan lain sebagainya. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam, yaitu garam organik (contohnya dalam bentuk oksalat, asetat) dan garam anorganik (contohnya dalam bentuk sulfat, fosfat, karbonat, dll). Secara umum terdapat dua jenis mineral yang dibutuhkan oleh tubuh yaitu makromineral dan mikromineral. Makromineral adalah mineral yang diperlukan oleh tubuh lebih dari 100mg per hari (contohnya Ca, Mg, Co, Cu, P, S, K, Na, Cl). Sedangkan mikromineral adalah mineral yang dibutuhkan oleh tubuh kita dibawah 100mg per hari (contohnya F, Zn, dan I).
B. Analisis Kadar Abu
Kadar abu merupakan jumlah total mineral yang tertinggal setelah semua zat organik terbakar. Biasanya, abu terdiri dari campuran logam seperti silika, alumina, kalsium, magnesium, dan besi. Menurut Winarno (1991), kadar abu yang terukur merupakan bahan-bahan anorganik yang tidak terbakar dalam proses pengabuan. Pentingnya pengukuran kadar abu terletak pada kemampuannya memberikan informasi tentang kualitas bahan yang dianalisis. Kadar abu dapat digunakan dalam berbagai bidang diantaranya :
1. Bidang Industri
Dalam industri, kadar abu digunakan untuk menentukan kualitas bahan bakar atau bahan kimia. Kadar abu yang tinggi pada bahan bakar dapat mengakibatkan pembentukan endapan pada mesin dan peralatan yang mengurangi efisiensi dan umur pakai alat. Selain itu, kadar abu yang tinggi dapat menyebabkan pencemaran emisi partikel yang dihasilkan saat pembakaran bahan bakar.
2. Bidang Pertanian
Dalam pertanian, kadar abu dapat memberikan informasi tentang kesuburan tanah. Abu yang terkandung dalam tanah berasal dari sisa-sisa mineral atau bahan organik yang terdekomposisi. Semakin tinggi kadar abu menunjukan tingkat kesuburan yang tinggi bagi tanah, karena abu yang dihasilkan memiliki kandungan mineral yang tinggi. Selain itum pengukuran kadar abu pada tanah juga dapat digunakan untuk memonitoring perubahan kualitas tanah akibat penggunaan pupuk kimia atau bahan organik.
3. Bidang Lingkungan
Kadar abu dapat digunakan untuk mengukur tingkat polusi di suatu wilayah. Abu yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil dapat mengandung zat seperti logam berat atau senyawa kimia beracun. Dengan mengukur kadar abu dalam air atau tanah di daerah tertentu, dapat diketahui tingkat polusi di daerah tersebut.
Analisis pengukuran kadar abu dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu metode langsung dan metode tidak langsung. Penentuan kadar abu secara langsung dilakukan dengan panas yang tinggi atau disebut juga cara kering, sedangkan metode tidak langsung dilakukan dengan cara basah. Perbedaan pengabuan dengan metode-metode ini dikemukaakan oleh Sudarmadji et.al. (2010), dan disajikan dalam tabel berikut :
Tabel 1. Perbedaan Pengabuan Secara Langsung dan Tak Langsung
Metode Langsung |
Metode Tidak Langsung |
Untuk penentuan kadar abu total |
Untuk penentuan mineral minor atau mikromineral |
Membutuhkan waktu yang lama untuk menentukan abu yang larut dan tak larut dalam air |
Membutuhkan waktu lebih cepat untuk menentukan abu yang larut dan tak larut dalam air |
Membutuhkan waktu yang lama untuk menentukan abu yang larut dalam asam |
Membutuhkan waktu lebih cepat untuk menentukan abu yang larut dalam asam |
Membutuhkan suhu yang tinggi |
Tidak membutuhkan suhu tinggi |
Menggunakan sampel yang banyak |
Menggunakan sampel yang sedikit |
1) Analisis Kadar Abu Metode Langsung
Metode analisis kadar abu metode langsung atau metode kering memiliki prinsip mengoksidasi zat-zat organik pada suhu 500-600°C, kemudian dilakukan penimbangan zat yang tersisa. Dalam menggunakan metode ini perlu diperhatikan karakteristik dari sampel yang akan dianalisis. Sampel yang memiliki kadar air yang tinggi harus dikeringkan terlebih dahulu, bahan yang mengandung zat yang mudah menguap atau berlemak saat pengabuan mula-mula suhunya harus rendah sampai asam yang terkandung didalamnya hilang baru dinaikkan suhunya. Pada metode ini pengabuan dilakukan dalam 2 tahap :
a) Pertama, sampel dipanaskan pada suhu 300°C dengan menggunakan bunsen dan cawan porselen, gunanya unuk melindungi bahan yang bersifat volatil dan berlemak. Pemanasan ini juga berfungsi untuk mengarangkan sampel agar pengabuan menjadi lebih cepat dan mudah.
Gambar 1. Pengarangan sampel
b) Kedua, sampel diabukan pada suhu 600-800°C (tergantung dari zat yang ingin dianalisis) dalam tanur listrik. Pemanasan dilakukan hingga sampel berwarna keabu-abuan. Pemanasan dilakukan bertahap agar tidak memecahkan cawan yang mudah pecah pada perubahan suhu yang tiba-tiba.
Pengabuan kering dapat diterapkan pada hampir semua analisa mineral, kecuali merkuri dan arsenik. Pengabuan dengan metode langsung memiliki beberapa kelemahan dan kelebihan yang disajikan pada tabel berikut :
Tabel 2. Kelebihan dan Kekurangan Pengabuan Kering
Kelebihan |
Kekurangan |
Digunakan untuk pengukuran abu total, sehingga paling banyak dipakai |
Membutuhkan waktu yang lama |
Mudah, murah dan sederhana |
Memerlukan suhu yang tinggi, sehingga mineral mudah hilang |
Dapat digunakan untuk menghitung abu larut air, abu tak larut air, dan abu larut asam |
Adanya kehilangan air karena pemakaian suhu tinggi |
Pengabuan dengan metode kering adalah metode yang paling banyak dipakai, karena tidak menggunaan alat yang rumit dan mudah dilakukan. Berikut merupakan tahapan prosedur analisis kadar abu total metode pengeringan langsung :
- Melakukan standarisasi cawan porselin dengan memanaskannya diatas bunsen denagn api biru selama 15 menit, lalu didinginkan didalam desikator selama 5 menit dan ditimbang. Langkah tersebut dilakukan hingga didapat berat cawan konstan
- Menimbang sampel sebanyak 2 – 3g ke dalam cawan porselin yang beratnya sudah diketahui dan tidak berubah-ubah
- Mengarangkan sampel diatas pembakar bunsen dengan api biru hingga semua sampel berwarna kehitama
- Mengabukan sampel dalam tanur listrik pada suhu maksimal 550°C atau suhu sesuai dengan sampel yang akan dianalisis sampai pengabuan sempurna (pintu tanur dibuka sesekali agar oksigen bisa masuk)
- Mematikan tanur dan menunggu hingga cawan tidak terlalu panas. Hindari memindahkan cawan ketika suhu masih tinggi. Perubahan suhu yang tiba-tiba dapat membuat cawan pecah
- Mendinginkan cawan dalam desikator selama 15 menit
- Menimbang cawan.
- Mengulangi pemanasan dalam tanur hingga didapat berat yang konstan dan tidak berubah-ubah.
Kadar abu dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
2) Analisis Kadar Abu Metode Tidak Langsung
Metode analisis kadar abu metode tidak langsung atau metode basah memiliki prinsip mengoksidasi komponen organik menggunakan oksidator kimiawi seperti asam kuat. Pengabuan dengan metode ini biasanya digunakan untuk mineral-mineral mikro atau mineral-mineral yang beracun. Pengabuan dengan metode tidak langsung memiliki beberapa kelemahan dan kelebihan yang disajikan pada tabel berikut :
Tabel 3. Kelebihan dan Kekurangan Pengabuan Basah
Kelebihan |
Kekurangan |
Waktu yang lebih singkat dan suhu yang lebih rendah |
Hanya dapat digunakan untuk logam yang beracun |
Mineral akan tetap berada dalam larutan |
Memerlukan reagensia yang berbahaya (asam kuat) |
Sedikit atau hampir tidak ada kehilangan akibat penggunaan suhu dan waktu yang rendah |
Memerlukan koreksi terhadap reagensia yang digunakan |
Pada analisis kadar abu metode basah, digunakan beberapa reagen larutan asam kuat sebagai pengoksidasi seperti HNO3, HClO4, dan H2SO4. Reagen tersebut dapat digunakan secara langsung atau dicampur sesuai dengan kebutuhan. Biasanya metode ini gunakan unuk persiapan pada analisis mineral. Pengukuran mineral dapat dilakukan secara konduktometri atau dengan spektrofotometri.
C. Analisis Kadar Mineral
Penentuan kadar mineral sangat erat kaitannya dengan kadar abu dalam bahan. Hal ini karena bahan pangan mengandung abu sebagai komponen anorganik yang tersusun atas beberapa jenis mineral dengan komposisi yang berbeda-beda. Analisis mineal dapat dilakukan dengan mengabukan bahan terlebih dahulu kemudian dikombinasikan dengan beberapa metode seperti gravimetri, volumetri, kalorimetri dan Spektrofotometri Serapan Atom.
1) Metode Gravimetri
Pengukuran mineral dengan metode ini memiliki prisip mengendapkan mineral dengan suatu reagen kimia kemudian ditimbang. Metode ini mempunyai keterbatasan dimana hanya dapat digunakan untuk menganalisis mineral makro. Analisis kadar abu sulfat adalah salah satu contoh penerapan analisis kadar mineral menggunakan metode gravimetri. Sampel yang telah diabukan ditambah dengan 1-2 tetes asam sulfat pekat dalam ruang asam kemudian diuapkan hingga semua gas SO2 hilang. Sampel dipijarkan kembali dalam tanur, didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga berat konstan. Berat yang terukur adalah berat abu yang diendapkan sebagai sulfat.
2) Metode Volumetri
Penggunaan metode ini didasari dari jenis mineral yang dianalisis dan prosedur titrasi yang digunakan. Salah satu contohnya adalah titrasi kompleksometri menggunakan EDTA yang dapat mengukur kesadahan (pengukuran mineral Ca dan (Mg), memiliki prinsip membentuk suatu ion kompleks berwarna yang nantinya titik akhir titrasi dapat dilihat dengan bantuan penambahan indikator. Selain itu ada pula titrasi pengendapan yang dapat mengukur ion Cl, memiliki prinsip dimana ion klorida dititrasi dengan AgNO3. Dengan penambahan indikator kalium kromat titik akhir titrasi dapat terlihat dimana sampel membentuk endapan merah.
3) Metode Kalorimetri
Metode ini didasari pada reaksi pembentukan warna yang dapat menyerap atau meneruskan sinar pada panjang gelombang tertentu. Pembentukan warna dapat melibatkan berbagai jenis reaksi. Warna yang terbentuk kemudian dapat diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer. Dari absorbansi inilah kita dapat mengetahui berapa kadar mineral dalam sampel.
4) Metode Atomic Absorption Spektrofotometer (AAS)
Penentuan mineral dengan AAS merupakan metode analitik yang sederhana dan banyak digunakan dalam bahan pangan. Hal ini karena AAS dapat diunakan untuk menganalisis mineral dengan sensitivitas tinggi, dan dapat digunakan untuk menganalisis kontaminan logam-logam berat. AAS memiliki prinsip yaitu pengukuran jumlah sinar yang diserap oleh atom dari unsur-unsur. Caranya adalah sampel hasil pengabuan disebarkan dalam nyala api pada alat AAS. Dalam analisisnya sampel sudah berupa larutan, bukan padatan. Pemanasan pada suhu tinggi menyebabkan atom naik ke tingkat energinya dan tereksitasi. Kenaikan tersebut karena atom menyerap energi radiasi dari sinar. Absorbansi atau emisi logam dapat dianalisis dan diukur pada panjang gelombang tertentu. Konsentrasi logam dapat ditentukan berdasarkan kurva standar yang diperoleh dari alat yang dihubungkan dengan komputer.
Gambar 2. Bagian-bagian dan Proses Analisis pada AAS
Daftar Pustaka
Andarwulan, N., F. Kusnandar., dan D. Herawati. 2011. Analisis Pangan. Dian Rakyat, Jakarta.
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. 2013. Kimia Analitik Terapan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 201 hal.
Purwasih, Rita. 2021. Analisis Pangan. Jawa Barat : Polsub Press. 2021
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 2010. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. 2010. Liberty Yogyakarta, Yogyakarta.
Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Posting Komentar